Lupus Eritematosus adalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan.
Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah Ig G atau Ig M dan dapat
bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi,
kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Komplek antigen
antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas III, kemudian terjadi peradangan kronik (Elizabeth, 2009).
Lupus Eritematosus merupakan penyakit yang menyerang
sistem konektif dan vaskular (pembuluh darah) (Suria Djuanda, 2005).
Lupus Eritematosus adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan
manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Pada keadaan
awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering
tidak terjadi bersamaan (Sylvia dan Lorraine, 1995).
SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan
untuk melawan bakteri maupun virus
yang masuk ke dalam tubuh berbalik pada kaki dan
perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, merusak
organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit,
atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita
satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat
kerusakan di ginjal terjadi bengkak 2004).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi
oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan
produksi autoantibodi
yang berlebihan (Albar, 2003).
Suatu penyakit peradangan kronik diman terbentuk
antibody-antibody terhadap beberapa antigen diri yang berlebihan yang bisa
menyerang berbagai organ tubuh termasuk kulit,persendihan dan organ dalam
lainnya.
B.
ETIOLOGI
1.
Sampai saat ini penyebab LES
belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan
pada patofisiologi LES. Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan dengan perubahan gen
MHC spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Wanita
lebih cenderung mengalami LES dibandigkan pria, karena peran hormon seks. LES
dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau menyususi. Pada
beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan
penyakit. Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama masa subur. Penyakit ini
dapat bersifat ringan selama bertahn-tahun, atau dapat berkembang dan
menyebabkan kematian (Elizabeth, 2009).
2.
Faktor Risiko
a.
Faktor risiko genetic. Meliputi jenis kelamin
(frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa), umur
(lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya
20 kali lebih sering dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan penyakit
tersebut).
b.
Faktor risiko hormone. Estrogen menambah risiko
LES, sedang androgen mengurangi risiko ini.
c.
Sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES
kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara
sistemik melalui peredaran di pemuluh darah.
d.
Imunitas. Pada pasien LES terdapat
hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
e.
Obat. Obat tertentu dalam
presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau
DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah:
1).
Obat yang pasti menyebabkan
lupus obat: klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
2).
Obat yang mungkin dapat menyebabkan
lupus obat: dilantin, peninsilamin, dan kuinidin.
3).
Hubungannya belum jelas: garam
emas, beberapa jenis antibiotik, dan griseofulvin.
Infeksi
f.
Pasien LES cenderung mudah
mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
g.
Stres. Stres berat dapat
mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini
(Arif Mansjoer, 2000).
C.
TANDA DAN GEJALA
Gambaran klinis biasanya dapat membingungkan, gejala
yang palin sering adalah sebagai berikut:
1.
Poliartralgia (nyeri sendi) dan
artiritis (peradangan sendi).
2.
Demam akibat peradangan kronik
3.
Ruam wajah dalam pola malar
(seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung, kata Lupus berarti serigala dan mengacu
kepada penampakan topeng seperti serigala.
4.
Lesi dan kebiruan di ujung kaki
akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik.
5.
Sklerosis (pengencangan atau
pengerasan) kulit jari tangan.
6.
Luka di selaput lendir mulut
atau faring (sariawan).
7.
Lesi berskuama di kepala, leher
dan punggung.
8.
Edema mata dan kaki mungkin
mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
9.
Anemia, kelelahan kronik,
infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena serangan terhadap sel
darah merah dan putih serta trombosit (Elizabeth, 2009).
D.
KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi
oleh obat.
1. Discoid Lupus: Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan
ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan
telangiektasia. Lesi ini
timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,
punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya
apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus: SLE merupakan penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and
Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen
(Epstein, 1998).
3. Lupus
yang diinduksi oleh obat:
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
E.
PATHWAY
F.
PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat
terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan
5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh.
Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry
yang mengacau regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan LES.
Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas
gejala klinisnya dan adanya autoantibody. Kebanyakan pasien SLE memiliki
polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai
dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada
tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki)
terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang
ditemukan; keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti
rheumatoid arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga
terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu,
atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan,
utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya
Nephritis biasanya manifestasi SLE
yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab
utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini. Karena nephritis
asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya dilakukan
pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Segelintir pasien SLE dengan
proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa
proliferasi pada pemeriksaan biopsy ginjal.
Manifestasi pulmoner yang paling
sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural.
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya
ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade
jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan
endocarditis.
Lupus dermatitis dapat
diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak
sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”.
Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian,
lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan
atropi dimana semua bagian demal secara permanent rusak. Lesi dapat memburukkan rupa, terutama pada wajah
dan kulit kepala.
Kebanyakan bercak SLE yang
umum bersifat fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah
(utamanya pada pipi dan sekitar hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu,
daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan.
Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE
mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler
datar kemerahan. Ulkus kecil dan
nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada
sariawan.
G.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita adalah sebagai berikut:
1.
Gagal ginjal adalah penyebab
tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat terjadi akibat
deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan
komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi
hipersensitivitas tipe III.
2.
Dapat terjadi perikarditis
(peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung).
3.
Peradangan membran pleura yang
mengelilngi paru dapat membatasi perapasan. Sering terjadi bronkhitis.
4.
Dapat terjadi vaskulitis di
semua pembuluh serebrum dan perifer.
5.
Komplikasi susunan saraf pusat
termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan
depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi
obat atau penyakitnya (Elizabeth, 2009).
H.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang di lakukan meliputi:
1. ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang
tinggi namun spesifisitas yang rendah.
2. Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES,
biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.
3. Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30%
pasien.
4. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan
lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan
kambuhnya LES.
5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik).
6. Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis
reumatoid, sindrom sjogren, skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.
7. Anti ssDNA (single stranded).
8. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif
Mansjoer, 2000).
I.
PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis. Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
a. Antiradang nonstreroid (AINS). AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan
artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insiden
hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada
hati. Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping
obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau
secara seksama.
b. Kortikosteroid
c. Antimalaria. Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak
dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan
dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit
merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis.
d. Imunosupresif. Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat
dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya
dipakai ketika:
1). Diagnosis pasti sudah ditegakkan
2). Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
3). Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila
pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus
diturunkan karena adanya efek samping.
4). Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine,
1995).
2. Penatalaksanaan keperawatan. Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik
karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan
reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada
setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang
utama.
a. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan
instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson
& Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal
ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
b. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien
yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan mampu
mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara
aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda
peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit
kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi
koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
c. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat
menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan
pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik
terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa Tri U.,
2012).
3. Penatalaksanaan diet. Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah
yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien
disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SISTEMIK LUPUS ERYTHEMATOSUS
PENGKAJIAN FOKUS
A.
IDENTITAS
KLIEN
Nama :
Tempat/tanggal lahir :
Usia :
Agama :
Suku :
Status perkawinan :
Pendidikan :
Bahasa yang digunakan:
Alamat :
Dx medik :
B.
IDENTITAS
PENANGGUNG JAWAB
Nama :
Alamat :
Hubungan dengan klien:
C.
RIWAYAT KEPERAWATAN MASA LALU
Penyakit yang pernah diderita :
Kebiasaan buruk :
Penyakit keturunan :
Alergi :
Imunisasi :
Operasi :
D.
RIWAYAT
KEPERAWATAN SEKARANG
Alasan masuk :
Tindakan/terapi yang sudah diterima :
Keluhan utama :
E.
PENGKAJIAN
POLA GORDON
1. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan
Sebelum sakit:
Bagaimana klien menjaga kesehatan?
Bagaimana cara menjaga kesehatan?
Saat sakit:
Apakah klien tahu tentang penyakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika
terjadi rasa sakit?
Apa yang dilakukan jika rasa sakitnya timbul?
Apakah pasien tahu penyebab dari rasa sakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika
terjadi rasa sakit?
2. Nutrisi metabolik
Sebelum sakit:
Makan/minum; frekuensi, jenis, waktu, volume,
porsi?
Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan seperti
vitamin?
Saat sakit:
Apakah klien merasa mual/muntah/sulit menelan?
Apakah klien mengalami anoreksia?
Makan/minum: frekuensi, jenis, waktu, volume,
porsi?
3. Eliminasi
Sebelum sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil:
teratur, frekuensi, warna, konsistensi, keluhan nyeri?
Apakah mengejan saat buang air besar atau buang
air kecil sehingga berpengaruh pada pernapasan?
Saat sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil:
teratur, frekuensi, waktu, warna, konsistensi, keluhan nyeri?
4. Aktivitas dan latihan
Sebelum sakit:
Apakah bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Apakah mengalami kelelahan saat aktivitas?
Apakah mengalami sesak nafas saat beraktivitas?
Saat sakit:
Apakah memerlukan bantuan saat beraktivitas
(pendidikan kesehatan, sebagian, total)?
Apakah ada keluhan saat beraktivitas (sesak,
batuk)?
5. Tidur dan istirahat
Sebelum sakit:
Apakah tidur klien terganggu?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/atau malam
?
Kebiasaan sebelum tidur?
Saat sakit:
Apakah tidur klien terganggu, penyebab?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/ atau
malam) ?
Kebiasaan sebelum tidur?
6. Kognitif dan persepsi sensori
Sebelum sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa
saja?
Apakah menggunakan alat bantu (kacamata)?
Saat sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami nyeri (PQRST)?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa
saja?
Apakah merasa pusing?
7. Persepsi dan konsep diri
Sebelum sakit:
Bagaimana klien menggambarkan dirinya?
Saat sakit:
Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait
dengan penyakitnya?
Bagaimana harapan klien terkait dengan
penyakitnya?
8. Peran dan hubungan dengan sesama
Sebelum sakit:
Bagaimana hubungan klien dengan sesama?
Saat sakit:
Bagaimana hubungan dengan orang lain (teman,
keluarga, perawat, dan dokter)?
Apakah peran/pekerjaan terganggu, siapa yang
menggantikan?
9. Reproduksi dan seksualitas
Sebelum sakit:
Apakah ada gangguan hubungan seksual klien?
Saat sakit:
Apakah ada gangguan hubungan seksual klien?
10. Mekanisme koping dan toleransi terhadap
stres
Sebelum sakit:
Bagaimana menghadapi masalah?
Apakah klien stres dengan penyakitnya?
Bagaimana klien mengatasinya?
Siapa yang biasa membantu mengatasi/mencari
solusi?
Saat sakit:
Bagaimana menghadapi masalah?
Apakah klien stres dengan penyakitnya?
Bagaimana klien mengatasinya?
Siapa yang biasa membantu mengatasi/mencari
solusi?
11. Nilai dan kepercayaan
Sebelum sakit:
Bagaimana kebiasaan dalam menjalankan ajaran
Agama?
Saat sakit:
Apakah ada tindakan medis yang bertentangan
kepercayaan?
Apakah penyakit yang dialami mengganggu dalam
menjalankan ajaran Agama yang dianut?
Bagaimana persepsi terkait dengan penyakit yang
dialami dilihat dari sudut pandang nilai dan kepercayaan?
F.
PEMERIKSAAN
FISIK
1. Keadaan umum:
Tidak tampak sakit: mandiri, tidak terpasang alat
medis
Tampak sakit ringan: bed rest ,terpasang infus
Tampak sakit sedang: bed rest, lemah, terpasang
infus, alat medis
Tampak sakit berat: menggunakan oksigen, coma
Kesadaran:
Kuantitatif:
Mata :
Spontan(4)
Atas permintaan(3)
Rangsang nyeri(2)
Tidak bereaksi(1)
Verbal:
Orientasi baik(5)
Jawaban kacau(4)
Kata-kata sepatah(3)
Merintis/mengerang(2)
Tidak bersuara(1)
Motorik:
Menurut perintah(6)
Reaksi setempat(5)
Menghindar(4)
Fleksi abnormal(3)
Ekstensi nyeri(2)
Tidak bereaksi(1)
Kualitatif: compos mentis (conscious), apatis, delirium,
somnolen (letargi), stupor (sopor coma), coma?
2. Tanda-tanda vital:
Suhu: hipertermia?
Nadi: cepat, tidak teratur,
frekuensi, irama, volume?
Pernapasan: cepat, irama, jenis,
frekuensi?
Tekanan darah:?
Saturasi:?
3. Status gizi: tinggi badan, berat badan,
berat badan normal, berat badan ideal?
4. Pemeriksaan sistemik:
Head to toe: Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi?
a. Kepala (wajah):
1. Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak
kemerah-merahan
2. Terdapat lesi pada kulit kepala
3. Rambut rontok/tidak
4. Terdapat butterfly rash àbersisik pada wajah terutama pipi dan sekitar hidung, telinga, dagu, daerah
V pada leher.
5. Hidung mimisan / tidak.
6. Kulit gatal/tidak.
b. Mata: Anemis/an anemis, gangguan penglihatan.
c. Mulut/bibir: terdapat sariawan, nyeri pada mukosa,
gangguan, menelan.
d. Punggung: terdapat butterfly rash (bersisik) pada
punggung atas.
e. Ekstremitas: kulit seperti terbakar, pembengkakan
pada tangan, kaki , bahu, pinggang, Kulit berwarna kemerah-merahan, Kulit
teraba dingin, Pada sendi terdapat Arthtitis+/- (bengkak pada sendi).
f. Dada: bila bernapas nyeri/tidak.
g. Jantung: Perikarditis, endokarditis, miokarditis.
h. Abdomen: lymfadenopati, splenomegali,
hepatomegali.
G.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1. Laboratorium darah?
2. Laboratorium urine?
H.
TERAPI
Terapi yang didapat: nama obat, dosis, waktu, rute, indikasi?
I.
DIAGNOSA
DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri
biologis.
Intervensi:
1) Monitor derajat dan kualitas nyeri
(PQRST)?
R/mengetahui rasa nyeri yang dirasakan
2) Ajarkan teknik distraksi/relaksasi
R/mengurangi rasa nyeri
3) Beri posisi nyaman
R/untuk mengurangi rasa nyeri
4) Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
5) Kolaborasi/lanjutkan pemberian analgetik;
nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mengurangi rasa nyeri
2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak
efektik berhubungan dengan aliran arteri terhambat.
Intervensi:
1) Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah,
nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui keadaan klien
2) Monitor capillary refill time
R/mengetahui status keadaan klien
3) Monitor kemampuan aktivitas klien
R/mengetahui kemampuan klien
4) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
5) Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
6) Bantu aktivitas klien secara bertahap
R/mengurangi beban kerja klien
7) Cegah fleksi tungkai
R/menghindari penurunan staus kesadaran
klien
8) Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
9) Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
10) Kolaborasi/lanjutkan terapi transfusi
R/mempercepat pemulihan kondisi klien
11) Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama,
dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat proses penyembuhan
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan
keterbatasan paparan, tidak familiar dengan sumber informasi.
Intervensi:
1) Kontrak waktu dengan klien
R/menetapkan waktu untuk pendidikan
kesehatan
2) Berikan pendidikan kesehatan
R/meningkatkan pengetahuan klien
3) Evaluasi pengetahuan klien
R/mengetahui keberhasilan pendidikan
kesehatan
4) Anjurkan kepada klien untuk melakukan apa
yang telah disampaikan dalam pendidikan kesehatan
R/mengingatkan kembali pada klien
4. Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan hiperventilasi, nyeri, cemas, kelelahan otot pernapasan, defornitas
dinding dada.
Intervensi:
1) Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah,
nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui keadaan klien
2) Monitor kemampuan aktivitas klien
R/mengetahui kemampuan klien
3) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
4) Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
5) Bantu aktivitas klien secara bertahap
R/mengurangi beban kerja klien
6) Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
7) Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
5. Hipertermia berhubungan dengan penyakit.
Intervensi:
1) Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah,
nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui keadaan klien
2) Anjurkan untuk banyak minum ± 2 L/hari
R/memenuhi kebutuhan cairan
3) Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
4) Beri kompres hangat
R/vasodilatasi pembuluh darah
5) Kolaborasi/lanjutkan pemberian therapi
antipiretik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat penyembuhan
6) Kolaborasi/lanjutkan pemberian terapi anti
biotik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat penyembuhan
6. Kerusakan Integritas Kulit Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Definisi: Perubahan pada epidermis dan atau dermis.
Tujuan dan Kriteria Hasil:
pemeliharaan integritas kulit klien tercapai setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 7 x 24 jam dengan kriteria hasil:
1) Tidak terjadi infeksi pada
kulit
2) Tidak terjadi reaksi
peradangan
3) Kulit tidak gatal
4) Warna kulit normal
5) Tidak terjadi luka di area
kulit
Intervensi :
1) Lindungi kulit yang sehat
terhadap kemungkinan maserasi
2) Monitor kelembaban dari
kulit
3) Jaga dengan cermat terhadap
resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu
panas.
4) Nasehati pasien untuk
menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
5) Kolaborasi pemberian NSAID
dan kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
A.Price,Sylvia,
Wilson,Lorraine.M, 1995. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, Jakarta: EGC
Corwin,Elizabeth.J. 2000. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC
Nanda. 2006. Diagnosa
Keperawatan
Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi
Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku
Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Johnson, Marion, dkk. 2000. IOWA
Intervention Project Nursing Outcomes
Classifcation (NOC), Second edition.
USA : Mosby
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen
Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT.
Elex Media Komputindo
McCloskey, Joanne C. dkk. 1996. IOWA
Intervention Project Nursing
Intervention Classifcation (NIC),
Second edition. USA : Mosby
Wilkinson, Judith M. dkk. 2011. Buku
Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
NOC, Edisi Sembilan. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar