Jumat, 11 Maret 2016

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AUTISME



A.    PENGERTIAN
Istilah autisme pertama kali muncul sekitar tahun 1943 oleh psikiater anak Leo Kramer, yang berasal dari kata “auto” yang berarti berdiri sendiri. Secara harfiah autisme berasal dari kata “autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti suatu aliran, jadi autisme berati suatu paham yang hanya tertarik pada dunianya sendiri. Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan perkembangan abnormal dari interaksi sosial (menarik diri, tidak tertarik dengan orang lain), keterbatasan penggunaan bahasa interaktif (bicara dengan komunikasi non verbal) dan gangguan sensori motor (berespon inkonsisten terhadap stimuli).
Anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, komunikasi, dan adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan, yang terjadi pada anak sebelum berumur tiga tahun. Autisme adalah suatu keadaan dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun perilaku. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan. Pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual, dan kemauan (gangguan pervasif). Ada yang berpendapat bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori, dan belajar.
Autisme adalah kumpulan gejala karena adanya kerusakan pada otak sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada komunikasi, perilaku, interaksi sosial, dan hanya tertarik pada dunianya sendiri.
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120)
.
Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305)
Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif (DSM IV, sadock dan sadock 2000)
.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa kegagalan mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan),hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.

B.    EPIDEMIOLOGI
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-4:1. Penyakit sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat menunjukan gejala seperti austik.

C.    PENYEBAB
Penyebab terjadinya belum diketahui secara pasti, hanya diperkirakan mungkin adanya kelainan dari sistem saraf (neurologi) dalam berbagai derajat berat ringannya penyakit. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya autisme, antara lain:
1.      Faktor Psikososial: Pada era 50-an sampai 60-an dikatakan penyebabnya adalah akibat dari pengaruh perlakuan orang tua di masa kanak–kanak. Orang tua yang emosional, kaku, dan obsessif dalam pengasuhan anak akan menimbulkan suatu kondisi yang secara emosional kurang hangat, bahkan dingin.
2.      Faktor Genetik: Hasil penelitian terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan    adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan anak autisme. Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan autistik yang mirip dengan saudara kembarnya. Autisme juga ditemukan pada beberapa anak yang dalam satu keluarga atau dalam satu keluarga besar mengalami ganggguan yang sama.
3.      Faktor Perinatal: Komplikasi pranatal, perinatal, dan neonatal yang meningkat juga ditemukan pada anak autisme. Komplikasi yang paling sering dilaporkan adalah adanya pendarahan setelah trimester pertama dan ada kotoran janin pada cairan amnion, yang merupakan tanda bahaya dari janin (fetal distress). Penggunaan obat-obatan tertentu pada ibu yang sedang mengandung diduga ada hubungannya dengan timbulnya autisme. Adanya komplikasi waktu bersalin seperti terlambat menangis, gangguan pernapasan, anemia pada janin, juga diduga ada hubungannya dengan autisme. Pengaruh jamur, nutrisi yang buruk, keracunan makanan, serta pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes simplex enchepallitis, dan cytomegalovirus dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi.
4.      Gangguan Susunan Saraf: Berbagai kondisi neuropatologi diduga mendorong timbulnya gangguan perilaku pada autisme. Ada beberapa daerah di otak anak penyandang autisme yang diduga mengalami disfungsi. Adanya kesamaan perilaku autistik dan perilaku abnormal pada orang dewasa yang diketahui mempunyai lesi di otak, dijadikan dasar dari berbagai teori penyebab autisme. Pada pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) ditemukan adanya pengecilan otak kecil (cerebellum) pada banyak penyandang autisme, terutama pada lobus VI-VII. Lobus VI-VII berisi sel-sel purkinye yang memproduksi neurotransmitter serotonin. Akibat berkurangnya purkinye produksi serotonin berkurang sehingga penyaluran rangsang atau informasi antar sel otak menjadi kacau.
5.      Faktor Imunologi: Ditemukannya penurunan respon dari sistem imun pada beberapa anak autistik meningkatkan kemungkinan adanya dasar imunologis pada beberapa kasus autisme. Ditemukannya antibodi beberapa ibu terhadap antigen lekosit anak mereka yang autisme, memperkuat dugaan ini, karena ternyata antigen lekosit juga ditemukan pada sel-sel otak. Dengan demikian, antibodi ibu dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak janin yang menjadi penyebab timbulnya autisme.
6.      Gangguan Pencernaan: Pada penelitian ditemukan lebih dari 60% penyandang autistik mempunyai sistem pencernaan yang kurang sempurna. Makanan seperti susu sapi (casein) dan tepung terigu (gluten) tidak tercerna dengan sempurna. Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino tapi juga menjadi peptida, yaitu suatu rantai pendek asam amino yang seharusnya dibuang melalui urine. Pada penyandang autistik, peptida ini diserap kembali oleh tubuh, masuk ke dalam aliran darah, masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terganggu meliputi fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku.
7.      Keracunan Logam Berat: Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah, ternyata banyak ditemukan logam berat beracun pada anak autistik. Pada penelitian ditemukan bahwa logam yang berat, seperti arsenik (As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg), timbal (Pb) adalah racun yang kuat bagi otak.

D.    KARAKTERISTIK
Anak autisme mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang:
1.      Komunikasi:
a.      Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
b.      Anak nampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian sirna
c.      Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya
d.     Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain
e.       Senang meniru atau membeo (echolalia)
f.       Sebagian anak tidak berbicara atau sedikit berbicara sampai dewasa
g.      Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan
2.      Interaksi sosial
a.      Lebih suka menyendiri
b.      Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan
c.      Tidak tertarik untuk bermain bersama teman
3.      Gangguan sensori
a.      Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
b.      Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
c.      Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda
d.     Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut
4.      Pola bermain
a.      Tidak bermain seperti anak-anak pada umunya
b.      Tidak suka bermain dengan teman sebaya
c.      Tidak kreatif, tidak imajinatif
d.     Tidak bermain sesuai dengan fungsi mainan, seperti sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar
e.      Senang akan benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda
f.        Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana
5.      Perilaku
a.      Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)
b.      Memperlihatkan perilaku stimulasi diri, seperti bergoyang-goyang, mengepakan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang berulang-ulang
c.      Tidak suka perubahan
d.     Dapat pula duduk bengong tatapan kosong
6.      Emosi
a.      Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan
b.      Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya
c.      Kadang suka menyerang dan merusak
d.     Kadang berperilaku menyakiti dirinya
e.      Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain

E.     PENGOBATAN
Orang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang tua harus memeberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf residen lainnya. Orang tua sadar adanaya scottish sosiety for autistik children dan natinal sosiety for austik children yang dapat membantu dan dapat memmberikan pelayanan pada anak autis. Anak autis memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku, terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training (AIT),terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang baik antara orang tua , keluarga dan dokter.
Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat diubah dengan menagement perilaku.
Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif). Merupakan metode untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat. Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial. Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan.
Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.  Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau pengawet. Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat waktu serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.
Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:
Mengurangi masalah perilaku
dan Meningkatkan kemampuan belajar, perkembangan terutama bahasa, Anak bisa mandiri, dan Anak bisa bersosialisasi.

DAFTAR PUSTAKA


Sacharin, r.m, 1996, Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2, EGC, Jakarta

Behrman, Kliegman, Arvin, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15, Alih Bahasa Prof. DR. Dr. A. Samik Wahab, Sp. A (K), EGC, Jakarta


Danuatmaja, Bony. 2003. Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta: Puspa Swara.
Yatim, Faisal. 2003. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-Anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar