A.
PENGERTIAN
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar
bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi
bilirubin dalam darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus
(Dorothy R. Marlon, 1998).
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi
bilirubin dalam darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek
patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata, kulit, membrane
mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G, 1988).
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin
serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat
menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002).
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat
menimbulkan efek pathologis. (Markum, 1991:314).
Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang
ditandai pada kulit, mukosa akibat akumulasi bilirubin dan diberi istilah
jaundice atau ikterus (Bobak, 2004).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam
darah yang kadar nilainyalebih dari normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern icterus kalau tidak ditanggani dengan baik atau mempunyai
hubungan dangan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubin bila
kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan dan 15 mg% pada bayi kurang
bulan (Harison, et all, 2000).
Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar
serum bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubinemia
adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak ditanggulangi dengan baik
(Prawirohardjo, 2005).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi
bilirubin dalam darah berlebihan, melebihi batas atas nilai normal bilirubin
serum sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin
dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin
serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat
menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat
menimbulkan efek pathologis. (Markum, 1991:314)
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah
meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit,
konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).
B.
ETIOLOGI
Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :
1.
Hemolysis pada inkompatibilitas
yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah ibu dan anak pada
golongan rhesus dan ABO.
2.
Gangguan konjugasi bilirubin.
3.
Rusaknya sel-sel hepar,
obstruksi hepar.
4.
Pembentukan bilirubin yang
berlebihan.
5.
Keracunan obat (hemolysis kimia
: salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol).
6.
Bayi dari ibu diabetes,
jaundice ASI.
7.
Penyakit hemolitik yaitu
meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga icterus
hemolitik.
8.
Gangguan transportasi akibat
penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya hiperbilirubin atau karena pengaruh
obat-obatan.
9.
Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan
kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau infeksi.
10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah
merah seperti : infeksi toxoplasma, shypilis.
C.
MANIFESTASI KLINIS
1.
Kulit berwarna kuning sampe
jingga
2.
Pasien tampak lemah
3.
Nafsu makan berkurang
4.
Reflek hisap kurang
5.
Urine pekat
6.
Perut buncit
7.
Pembesaran lien dan hati
8.
Gangguan neurologik
9.
Feses seperti dempul
10.
Kadar bilirubin total mencapai
29 mg/dl.
11.
Terdapat ikterus pada sklera,
kuku/kulit dan membran mukosa.
12.
Jaundice yang tampak 24 jam
pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu
dengan diabetk atau infeksi.
13.
Jaundice yang tampak pada hari
ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang
biasanya merupakan jaundice fisiologi.
D. PATHWAY
E.
PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin
tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila
terdapat beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin
akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan
pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
di otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kadar bilirubin
indirek lebih dari 20mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin
melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan
neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan hipoglikemia. (Markum, 1991).
F.
KLASIFIKASI
1.
Ikterus prehepatik: Disebabkan
oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah.
Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama pada disfungsi
hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
2.
Ikterus hepatic: Disebabkan
karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati maka terjadi
gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati serta gangguan akibat
konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus
karena terjadi retensi dan regurgitasi.
3.
Ikterus kolestatik: Disebabkan
oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan bilirubin terkonjugasi
tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya adalah peningkatan
bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak
didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
4.
Ikterus neonatus fisiologi:
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke-7.
penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin.
5. Ikterus neonatus patologis: Terjadi karena
factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan yang tinggi dan
berat badan tidak bertambah.
G.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan bilirubin serum
a.
Pada bayi cukup bulan,
bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila
nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
b.
Pada bayi premature, kadar
bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar
bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
2.
Pemeriksaan radiology:
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma
kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
3.
Ultrasonografi: Digunakan untuk
membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
4.
Biopsy hati: Digunakan untuk
memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan
obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan
keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
5. Peritoneoskopi: Dilakukan untuk memastikan
diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan
ulangan pada penderita penyakit ini.
6. Laparatomi: Dilakukan untuk memastikan
diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan
ulangan pada penderita penyakit ini.
H.
PENCEGAHAN
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1.
Pengawasan antenatal yang baik
2.
Menghindari obat yang dapat
meningkatkan ikterus pada bayi dan masa kehamilan dan kelahiran, contoh
:sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada
janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari
sebelum partus.
5.
Imunisasi
yang baik pada bayi baru lahir
6.
Pemberian
makanan yang dini.
7.
Pencegahan infeksi.
I.
KOMPLIKASI
1.
Retardasi mental - Kerusakan
neurologist
2.
Gangguan pendengaran dan
penglihatan
3.
Kematian.
4.
Kernikterus.
J.
PENATALAKSANAAN
1.
Tindakan umum
a.
Memeriksa golongan darah ibu
(Rh, ABO) pada waktu hamil: Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil
atau bayi baru lahir yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
b.
Pemberian makanan dini dengan
jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.
c.
Imunisasi yang cukup baik di
tempat bayi dirawat.
2.
Tindakan khusus
a.
Fototerapi: Dilakukan apabila
telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan
bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto.
b.
Pemberian fenobarbital: Mempercepat
konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun pemberian ini tidak efektif karena
dapat menyebabkan gangguan metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
c.
Memberi substrat yang kurang
untuk transportasi/ konjugasi, misalnya pemberian albumin karena akan
mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar.
d.
Melakukan dekomposisi bilirubin
dengan fototerapi: untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang
ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan
untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin
jinak hingga moderat.
e.
Terapi transfuse: digunakan
untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
Terapi obat-obatan, misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
Terapi obat-obatan, misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
f.
Menyusui bayi dengan ASI
g.
Terapi sinar matahari
3.
Tindak lanjut: Tindak lanjut
terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan evaluasi berkala
terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi dengan
rehabilitasi terhadap gejala sisa.
ASUHAN
KEPERAWATAN TEORITIS
PENGKAJIAN
A.
IDENTITAS
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis
kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat.
B.
RIWAYAT KESEHATAN
1.
Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya keadaan
umum lemah , TTV tidak stabil terutama
suhu tubuh. Reflek hisap menurun, BB turun, pemeriksan tonus otot
(kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan, kulit tampak kunin, sclera
mata kuning, perubahan warna pada feses dan urine (Cecely Lynn Betz, 2009).
2.
Riwayat kesehatan keluarga
Kemungkinan ibu
dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal
icterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO,
incompatibilitas lain golongan darah suspect sph). Ada saudara yang menderita
penyakit hemolitik bawaan atau icterus (Haws Paulettet, 2007).
3.
Riwayat kehamilan
a.
Ketuban pecah dini, kesukaran
dengan manipulasi berlebihan merupakan predisposisi terjadinya infeksi.
b.
Pemberian obat anastesi,
analgesic yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas (hypoksia),
asidosis akan menghambat konjugasi bilirubin.
c.
Bayi dengan APGAR score rendah
memungkinkan terjadinya (hypoksia), asodosis yang akan menghambat konjugasi
bilirubin
d.
Kelahiran premature berhubungan
dengan prematuritas organ tubuh hepar (Haws Paulette , 2007)
C. PEMERIKSAAN FISIK
- KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma
TTV
ü TD : -
ü N : biasanya 120-160x/i
ü R : biasanya 40x/i
ü S : biasanya 36,5 – 37 ºC
a.
Kesadaran : biasanya apatis
sampai koma.
b.
Kepala, mata dan leher
c.
Kulit kepala tidak terdapat
bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau terdapat caput. Biasanya
dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput mukosa pada mulut. Dapat juga
diidentifikasi icterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol
untuk bayi dengan kulit bersih (kuning) (Haws, Paulette S.Hasws, 2007).
d.
Hidung : biasanya tampak bersih
e.
Mulut : ada lendir atau tidak,
ada labiopalatoskisis atau tidak (Hidayat, 2009). Pada kasus mulut berwarna
kuning (Saifuddin, 2002).
f.
Telinga : biasanya tidak
terdapat serumen.
g.
Thorak : Biasanya selain
ditemukan tanpak icterus juga dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas.
Biasanya status kardiologi menunjukan adanya tachycardia, khususnya icterus
disebabkan oleh adanya infeksi.
h.
Abdomen : Biasanya perut
buncit, muntah, mencret merupakan akibat gannguan metabolism bilirubin
enterohepatik.
i.
Urogenital : Biasanya feses
yang pucat seperti dempul atau kapur akibat gangguan hepar atau atresia saluran
empedu.
j.
Ekstremitas : Biasanya tonus otot lemah.
k.
Integument : Biasanya tampak
ikterik, dehidrasi ditunjukan pada turgor tangan jelek, elastisitas menurun.
D.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa
Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
- Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
- Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
- Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
- Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
- Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
- Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
- Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan dengan tranfusi tukar.
- PK : Kern Ikterus
E.
INTERVENSI KEPERAWATAN
- Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah
diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi deficit
volume cairan dengan kriteria :
ü Jumlah intake dan output seimbang
ü Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
ü Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi &
Rasional :
1).
Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
2).
Beri minum per oral/menyusui
bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
3).
Catat jumlah intake dan output
, frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
4).
Pantau turgor kulit, tanda-
tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda
dehidrasi )
5).
Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
- Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah
diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan
Rasional :
1).
Observasi suhu tubuh ( aksilla
) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
2).
Matikan lampu sementara bila
terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
3).
Kolaborasi dengan dokter bila
suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari
hipertermi ).
- Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan : Setelah
diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan
integritas kulit dengan kriteria :
ü Tidak terjadi decubitus
ü Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
1).
Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui
adanya perubahan warna kulit )
2).
Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah
penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
3).
Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan
peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut ).
4).
Jaga kebersihan kulit bayi dan
berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah
lecet )
5).
Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar
bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk
mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
- Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah
diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua dan bayi
menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak
mengertian proses Bounding.
Intervensi :
1).
Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat
kontak sosial ibu dan bayi )
2).
Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk
stimulasi sosial dengan ibu )
3).
Anjurkan orangtua untuk
mengajak bicara anaknya
(R: mempererat
kontak dan stimulasi sosial ).
4).
Libatkan orang tua dalam
perawatan bila memungkinkan
( R:
meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
5).
Dorong orang tua
mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi
beban psikis orangtua)
Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Setelah
diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua menyatakan mengerti
tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalamperawatan.
Intervensi :
1).
Kaji pengetahuan keluarga
tentang penyakit pasien
( R : mengetahui
tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
2).
Beri pendidikan kesehatan
penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya
( R :
Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
3).
Beri pendidikan kesehatan mengenai
cara perawatan bayi dirumah
(R :
meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)
- Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah
diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi injury
akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
1).
Tempatkan neonatus pada jarak
40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
2).
Biarkan neonatus dalam keadaan
telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan
kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi
hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
3).
Matikan lampu, buka penutup
mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
4).
Buka penutup mata setiap akan
disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
5).
Ajak bicara dan beri sentuhan
setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8 Volume 2. Jakarta:EGC
Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada
Praktik Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I.
Fajar Inter Pratama. Jakarta.
Ngastiyah. 2000. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Bobak and Jansen (1984), Etential of Nursing. St. Louis : The CV
Mosby Company
Hawkins, J.W. and Gorsine, B. (1985), Post Partum Nursing, New York:
Springen
Nelson J.P. and May, K.A.(1986), Comprehensive Maternity Nursing.
Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Reeder,S.J. et al.(1983), Maternity Nursing, Philadelphia : J.B.
Lippincot Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar