Kamis, 10 Maret 2016

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ATRESIA BILIER



    A.      SEJARAH
Satu dari deskripsi paling awal tentang atresia bilier dipublikasikan oleh Thomson dalam sebuah seri dari tiga tulisan pada 1891 dan 1892. Lebih dari 20 tahun kemudian, Holmes pertama kali menggunakan istilah atresia bilier dalam sebuah seri autopsi. Dia mengamati bahwa 16% dari anak-anak ini dapat dikoreksi secara bedah karena kehadiran duktus empedu proksimal paten atau kista didalam hilus hati. Rekonstruksi sukses pertama pada satu dari lesi-lesi yang dapat dikoreksi ini dilaporkan oleh Ladd pada tahun 1928. Selama beberapa dekade berikutnya, beberapa kesuksesan dilaporkan, namun hanya pada kelompok ‘yang dapat dikoreksi’ ini saja. Karena mayoritas bayi memiliki anatomi ‘tidak dapat terkoreksi’, operasi ditunda selama mungkin. Akibatnya, bahkan bayi dengan lesi yang dapat diperbaiki, terlambat dioperasi sampai kerusakan hati menjadi ireversibel. Pada 1959, Kasai dan Suzuki melaporkan sebuah operasi baru, portoenterostomi hepatik, yang mencapai drainase bilier bahkan pada bayi dengan atresia bilier ‘yang tidak dapat dikoreksi’. Namun, penerimaan terhadap prosedur ini datangnya lambat. Bahkan baru tahun 1975, Schubert dalam Schiff’s Diseases of the Liver, berpendapat bahwa “potensi operabilitas atresia bilier ekstrahepatik adalah 12%, namun angka kesembuhan aktual adalah sebesar 2% sampai 5%”. Prosedur Kasai diperjuangkan di Amerika Utara oleh Lily dan Altman, dan saat ini prosedur tersebut diterima diseluruh dunia sebagai modalitas bedah awal pada atresia bilier.

     B.      DEFINISI ATRESIA BILIER
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-saluran  yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi  congenital, yang berarti terjadi  saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).


     C.      ETIOLOGI
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit keturunan.  Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
1.      Infeksi virus atau bakteri
2.      Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
3.      Komponen yang abnormal empedu
4.      Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
5.      Hepatocelluler dysfunction


    D.      MANIFESTASI KLINIS
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk : Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir
1).    Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urin.
2).    Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat pembesaran hati.
3).    Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
4).    degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh 
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1.      Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
2.      Gatal-gatal
3.      Rewel  : splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal / Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

     E.      PATOFISIOLOGI
Secara embriologi, percabangan bilier berkembang dari divertikulum hepatik dari embrio foregut. Duktus bilier intrahepatik berkembang dari hepatosit janin, sel-sel asal bipotensial mengelilingi percabangan vena porta. Sel-sel duktus bilier primitif ini membentuk sebuah cincin, piringan duktal, yang berubah bentuk menjadi struktur duktus bilier matang. Proses perkembangan duktus biliaris intrahepatik dinamis selama embriogenesis dan berlanjut sampai beberapa waktu setelah lahir. Duktus biliaris ekstrahepatik muncul dari aspek kaudal divertikulum hepatik. Selama stadium pemanjangan, duktus ekstrahepatik nantinya akan menjadi, seperti duodenum, sebuah jalinan sel-sel padat. Pembentukan kembali lumen dimulai dengan duktus komunis dan berkembang secara distal seringkali mengakibatkan 2 atau 3 lumen untuk sementara, yang nantinya akan bersatu. Komponen intrahepatik selanjutnya bergabung dengan sistem duktus ekstrahepatik dalam daerah hilus.
Patogenesis atresia bilier tetap tidak jelas meskipun terdapat beberapa teori etiologi dan investigasi. Telah diusulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh: (a) kegagalan rekanalisasi, (b) faktor genetik, (c) iskemia, (d) virus, atau (e) toksin. Saat ini, teori yang paling membangkitkan minat adalah bahwa atresia bilier merupakan hasil akhir satu atau beberapa dari cemooh-cemooh ini yang nantinya menyebabkan epitel bilier menjadi ‘peningkatan susunan’ untuk mengekspresikan antigen pada permukaan sel (Dillon). Pengenalan oleh sel T yang beredar kemudian memulai respon imun dimediasi-sel, mengakibatkan cedera fibrosklerotik yang terlihat pada atresia bilier. Tampaknya terdapat dua kelompok terpisaah pasien dengan atresia bilier: bentuk embrionik awal dihubungkan dengan kemunculan berbagai anomali lainnya dan bentuk janin kelak/perinatal yang biasanya terlihat terisolasi. Etiologi masing-masingnya mungkin berbeda.
Temuan patologis pada atresia bilier ditandai dengan sklerotik inflamasi yang kehilangan semua atau sebagian percabangan bilier ekstrahepatik juga sistem bilier intrahepatik. Tidak seperti atresia traktus gastrointestinal lainnya yang memiliki batasan tempat obstruksi jelas dengan dilatasi proksimal, dalam varian atresia bilier yang paling umum, duktus biliaris diwakili oleh jalinan fibrosa tanpa dilatasi apapun di proksimalnya. Sedangkan varian lainnya memiliki sisa nyata – distal, dari kandung empedu, duktus sistikus dan duktus komunis, atau proksimal, dengan hilus kista.
Kandung empedu biasanya kecil namun kemungkinan masih memiliki lumen berkerut yang berisi cairan jernih (“empedu putih”). Secara mikroskopis, sisa bilier diwakili oleh jaringan fibrosa padat, distal. Proksimal, duktus biliaris dikelilingi oleh fibrosis konsentris dan infiltrat peradangan disekitar struktur seperti-duktus yang kecil sekali, duktus koledokus dan kelenjar bilier. Oklusi sclerosing duktus bilier menjadi lebih luas seiring dengan pertambahan usia. Kasai dan rekan-rekannya memperlihatkan bahwa duktus intrahepatik berhubungan dengan hepatis porta melalui kanal yang kecil sekali, setidaknya diawal masa bayi. Rekonstruksi bedah berdasarkan pada pedoman ini.
Dalam 2 bulan pertama setelah kelahiran, perubahan histologis hati memperlihatkan pemeliharaan arsitektur hepatik dasar dengan proliferasi duktulus empedu, sumbatan empedu dan fibrosis periportal ringan pada bayi dengan atresia bilier. Nantinya, fibrosis membentang kedalam lobulus hepatikus, akhirnya menghasilkan gambaran sirosis. Seperempat bayi yang memiliki infiltrat inflamasi portal dan transformasi sel-raksasa yang tak dapat dibedakan dari temuan patologis hepatitis neonatorum.

      F.      DIAGNOSIS
Ikterus pada bayi yang menetap > 2 minggu seharusnya tidak dianggap fisiologis, khususnya jika fraksi utama adalah bilirubin terkonjugasi. Pentingnya diagnosis dini dalam mencapai keberhasilan maksimal pada portoenterostomi Kasai telah ditegaskan berulangkali. Karena banyak sekali penyebab kolestasis pada bayi, sebuah evaluasi menyeluruh untuk menyingkirkan setiap kemungkinan dapat memakan waktu berminggu-minggu dan tidak seharusnya dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengesampingkan obstruksi mekanis yang menyebabkan ikterus, dan kerja yang cepat itu penting. Bayi dengan atresia bilier biasanya kelihatan normal pada saat lahir, menjadi ikterus klinis pada usia 3-6 minggu. Warna feses mungkin saja normal atau awalnya kuning, namun berubah menjadi kuning pucat atau warna tanah liat seiring berjalannya waktu.
Tes biokimia pada atresia bilier memperlihatkan hiperbilirubinemia, biasanya 6-12 mg/dL, dengan 50% terkonjugasi. Transaminase dan alkali fosfatase meningkat 2-3 kali nilai normal. γ-glutamil transeptidase biasanya tinggi dengan nyata sekali. Biasanya, fungsi sintetik hepar mendekati normal dengan level serum albumin normal. Peningkatan ringan PT biasanya sebagai respon terhadap asupan vitamin K parenteral. Tes serologis harus dilaksanakan untuk mengecualikan etiologi infeksi (hepatitis A, B, C dan titer TORCH). Defisiensi α1-antitripsin dapat menyerupai atresia bilier dan diasingkan dengan menentukan level AAT dan fenotip. Hitung darah lengkap standar dengan pemeriksaan apusan perifer secara luas mengecualikan penyebab hematologis pada kolestasis.
Ultrasonografi cepat, aman dan non-invasif bermakna pada evaluasi bayi dengan ikterik. Pada atresia bilier, kandung empedu kecil atau tidak terlihat. Duktus bilier tidak terlihat dan hepar mungkin mengalami peningkatan echogenicity. Sebagai tambahan, munculnya anomali polisplenia (limpa multipel, vena porta pre-duodenal, situs inversus, dan absensia vena cava infrahepatik) memberi kesan diagnosis.
Pencitraan hepatobilier menggunakan technetium-99m asam iminodiacetic (IDA) bermanfaat untuk memisahkan obstruktif dari ikterus parenkimal. Pada atresia bilier, khususnya yang dini, pengambilan nukleotida cepat, namun ekskresi kedalam usus tidak ada, bahkan pada gambar yang tertunda. Pada ikterus hepatoseluler, pengambilan isotop tertunda oleh penyakit parenkim dan ekskresi kedalam usus mungkin tertunda atau tidak terlihat. Karenanya, visualisasi isotop didalam usus mengecualikan atresia bilier, namun kegagalan menunjukkan ekskresi usus adalah non-diagnostik. Fenobarbital, karena ia meningkatkan konjugasi dan ekskresi  bilirubin, dapat digunakan untuk meningkatkan pembedaan dengan pencitraan IDA.
Kolangiografi adalah manuver diagnostik akhir, biasanya dilakukan sebagai langkah pendahuluan, sebelum melanjutkan ke portoenterostomi. Melalui insisi kecil kuadran-atas-kanan, kandung empedu yang berkerut ditampakkan. Biasanya kandung empedu tidak memiliki lumen sama sekali, atau hanya berupa lumen mungil yang mengandung beberapa tetes cairan bening. Bila lumen ada, kolangiogram diperoleh dengan injeksi bahan kontras.
Demonstrasi kontras dalam duodenum dan kontinuitas dengan duktus bilier intrahepatik meniadakan atresia bilier. Dalam persoalan ini, biopsi iris murah (dan jarum) pada hati harus dilakukan sebelum menutup insisi. Jika kolangiografi tidak memungkinkan (lumen kandung empedu tidak ada atau tersumbat), kemudian insisi diperbesar menjadi laparotomi subkosta bilateral dalam persiapan untuk portoenterostomi Kasai.

    G.      PENGOBATAN
Satu-satunya terapi yang memberikan harapan kesembuhan bagi atresia bilier adalah pembedahan. Secara historis, berbagai operasi telah disusun, termasuk reseksi hepatik parsial dengan drainase luka permukaan, penusukan hepar dengan tabung hampa, dan pengalihan duktus limfatik torasikus kedalam rongga mulut. Prosedur satu-satunya yang memberikan keberhasilan jangka-panjang adalah portoenterostomi dan transplantasi hati.
1.      Portoenterostomi hepatik : Prosedur portoenterostomi diawali dengan mobilisasi kandung empedu dari hati dan diseksi duktus sistikus ke sisa serabut duktus biliaris komunis. Peritoneum superfisial diatas ligamentum hepatoduodenal dibuka untuk memperlihatkan arteri hepatika dan struktur biliaris. Alat pembesar dan pencahayaan sempurna tidak memiliki arti. Duktus komunis fibrosa secara hati-hati dipotong dan dibelah di distal pada batas atas duodenum. Sisa duktal digunakan untuk traksi dan diseksi berlanjut ke proksimal. Arteri sistikus diligasi. Duktus biliaris fibrosa meluas menjadi massa berbentuk kerucut dan memasuki hepar diantara bifurkasi dan vena porta. Vena kecil bercabang harus dibagi dengan cermat. Kerucut fibrosa dipotong sama persis dengan substansi hepar. Tidak ada kauter yang digunakan pada pemotongan hilus. Pembalutan dengan kasa ketika Roux-en-Y tersumbat akan memberikan hemostasis yang cukup. Meskipun berbagai rekonstruksi intestinal telah dijelaskan, Roux-en-Y tradisional saat ini lebih disukai. Kebanyakan pilihan lainnya berasal dari usaha untuk mengurangi frekuensi kolangitis. Umumnya, tak satupun dari eksteriorisasi atau teknik katup yang secara bermakna mempengaruhi insiden kolangitis atau hasil akhir jangka-panjang. Saat ini, kita menciptakan Roux-en-Y 40-cm dengan transeksi yeyunum 10-cm distal terhadap ligamen Trietz. Cabang Roux melewati retro-kolik dan prosedur dilengkapi dengan anastomosis yang berakhir-pada-satu-lapisan ke hepatik porta yang ditranseksi menggunakan jahitan berturut-turut yang dapat diserap. Harus berhati-hati untuk tidak menempatkan jahitan melalui jaringan yang ditranseksi dimana terdapat duktus bilier yang sangat kecil, khususnya di lateral dan posterior. Sebuah saluran kecil ditempatkan di posterior dari hepatik porta pada ruang subhepatik sebelum penutupan insisi.
2.      Portokolesistotomi: Pada kira-kira 20% pasien, kenyataan kandung empedu, duktus sistikus, dan duktus biliaris komunis distal membolehkan penggunaan untuk rekonstruksi. Pemotongan proksimal berada pada tingkat identik. Kandung empedu harus dimobilisasi dengan hati-hati untuk melindungi pasokan darah dari arteri sistikus. Kandung empedu dibuka secara longitudinal dan secara langsung di-anastomosis-kan ke porta yang ditranseksi. Duktus sistikus hipoplastik dan duktus biliaris komunis mungkin tidak mampu menerima volume penuh drainase bilier pada awalnya. Oleh karena itu, dekompresi sementara dengan sebuah tabung silastic yang ditempatkan melalui fundus kandung empedu membiarkan penyembuhan anastomotik dan dilatasi bertahap duktus distal. Jika kandung empedu berhasil digunakan untuk drainase, resiko kolangitis paska operasi hampir dihilangkan.
3.      Transplantasi Hati: Kemajuan dalam teknik dan imunosupresi pada tahun 1980 menambahkan transplantasi hati ke pilihan yang tersedia untuk mengobati anak dengan atresia bilier. Meskipun telah diusulkan bahwa transplantasi hati menggantikan portoenterostomi sebagai terapi primer, beberapa argumen yang bertentangan dapat dibuat. Persentase pasien yang signifikan mencapai kelangsungan hidup jangka panjang dengan hanya portoenterostomi (50% kelangsungan hidup 5 tahun dan 25% kelangsungan hidup ke masa remaja). Imunosupresi pada bayi mengekspos anak pada resiko infeksi dan malignansi yang lebih besar. Biaya operasi, pemeliharaan imunosupresi, pemantauan, dan tindakan lanjutan jauh lebih besar pada penerima transplantasi. Lambat laun, beberapa telah menyatakan bahwa operasi Kasai berpengaruh negatif pada hasil dari prosedur transplantasi; namun studi banding tidak mampu memperlihatkan efek. Karenanya, kita meyakini bahwa transplantasi tidak seharusnya menggantikan operasi Kasai namun harus berfungsi sebagai jaringan pengaman bagi kegagalan awal atau nantinya penurunan fungsi sintetis atau komplikasi hipertensi portal.


DAFTAR PUSTAKA 

Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric Surgery, 4th Edition.

Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Parlin Ringoringo. 1991. Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak,FK UI, RSCM. from: url: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf /15AtresiaBilier086.html

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang berkepanjangan.  From : url :http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/

Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url : http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html

ST.Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of Medicine.2010.  Available from : url : http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm

North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.Biliary Atresia. From : url: http: //www.naspghan.org/ userassets/ Documents/pdf /diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf 

Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009.  Available From: url: http:// emedicine. medscape.com/ article/927029-overview

Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR.Surabaya. 2006. Available from : url :http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar