A. SEJARAH
Satu dari deskripsi paling
awal tentang atresia bilier dipublikasikan oleh Thomson dalam sebuah seri dari
tiga tulisan pada 1891 dan 1892. Lebih dari 20 tahun kemudian, Holmes pertama
kali menggunakan istilah atresia bilier dalam sebuah seri autopsi. Dia
mengamati bahwa 16% dari anak-anak ini dapat dikoreksi secara bedah karena
kehadiran duktus empedu proksimal paten atau kista didalam hilus hati.
Rekonstruksi sukses pertama pada satu dari lesi-lesi yang dapat dikoreksi ini
dilaporkan oleh Ladd pada tahun 1928. Selama beberapa dekade berikutnya,
beberapa kesuksesan dilaporkan, namun hanya pada kelompok ‘yang dapat
dikoreksi’ ini saja. Karena mayoritas bayi memiliki anatomi ‘tidak dapat
terkoreksi’, operasi ditunda selama mungkin. Akibatnya, bahkan bayi dengan lesi
yang dapat diperbaiki, terlambat dioperasi sampai kerusakan hati menjadi
ireversibel. Pada 1959, Kasai dan Suzuki melaporkan sebuah operasi baru,
portoenterostomi hepatik, yang mencapai drainase bilier bahkan pada bayi dengan
atresia bilier ‘yang tidak dapat dikoreksi’. Namun, penerimaan terhadap
prosedur ini datangnya lambat. Bahkan baru tahun 1975, Schubert dalam Schiff’s
Diseases of the Liver, berpendapat bahwa “potensi operabilitas atresia
bilier ekstrahepatik adalah 12%, namun angka kesembuhan aktual adalah sebesar
2% sampai 5%”. Prosedur Kasai diperjuangkan di Amerika Utara oleh Lily dan
Altman, dan saat ini prosedur tersebut diterima diseluruh dunia sebagai
modalitas bedah awal pada atresia bilier.
B. DEFINISI
ATRESIA BILIER
Atresia bilier (biliary atresia) adalah
suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile)
dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan
kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran
(Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
C. ETIOLOGI
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan
pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang
dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta
terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar
penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang
merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin
atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau
usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier
bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah
terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit
tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa
yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan
yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor
predisposisi berikut:
1.
Infeksi virus atau bakteri
2.
Masalah dengan sistem kekebalan
tubuh
3.
Komponen yang abnormal empedu
4.
Kesalahan dalam pengembangan
saluran hati dan empedu
5.
Hepatocelluler dysfunction
D.
MANIFESTASI KLINIS
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat
ketika mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu
pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk : Ikterus, kekuningan pada
kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu)
dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa
adalah umum pada bayi baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama
sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya
tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu
setelah lahir
1).
Urin gelap yang disebabkan oleh
penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin
kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urin.
2). Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin
yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi
bengkak akibat pembesaran hati.
3). Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
4). degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus,
dan hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang
larut dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut
dalam air serta gagal tumbuh
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1.
Gangguan pertumbuhan yang
mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
2.
Gatal-gatal
3.
Rewel : splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi
portal / Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut
darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
E. PATOFISIOLOGI
Secara embriologi,
percabangan bilier berkembang dari divertikulum hepatik dari embrio foregut.
Duktus bilier intrahepatik berkembang dari hepatosit janin, sel-sel asal
bipotensial mengelilingi percabangan vena porta. Sel-sel duktus bilier primitif
ini membentuk sebuah cincin, piringan duktal, yang berubah bentuk menjadi
struktur duktus bilier matang. Proses perkembangan duktus biliaris intrahepatik
dinamis selama embriogenesis dan berlanjut sampai beberapa waktu setelah lahir.
Duktus biliaris ekstrahepatik muncul dari aspek kaudal divertikulum hepatik.
Selama stadium pemanjangan, duktus ekstrahepatik nantinya akan menjadi, seperti
duodenum, sebuah jalinan sel-sel padat. Pembentukan kembali lumen dimulai
dengan duktus komunis dan berkembang secara distal seringkali mengakibatkan 2
atau 3 lumen untuk sementara, yang nantinya akan bersatu. Komponen intrahepatik
selanjutnya bergabung dengan sistem duktus ekstrahepatik dalam daerah hilus.
Patogenesis atresia bilier
tetap tidak jelas meskipun terdapat beberapa teori etiologi dan investigasi.
Telah diusulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh: (a) kegagalan rekanalisasi,
(b) faktor genetik, (c) iskemia, (d) virus, atau (e) toksin. Saat ini, teori
yang paling membangkitkan minat adalah bahwa atresia bilier merupakan hasil akhir
satu atau beberapa dari cemooh-cemooh ini yang nantinya menyebabkan epitel
bilier menjadi ‘peningkatan susunan’ untuk mengekspresikan antigen pada
permukaan sel (Dillon). Pengenalan oleh sel T yang beredar kemudian memulai
respon imun dimediasi-sel, mengakibatkan cedera fibrosklerotik yang terlihat
pada atresia bilier. Tampaknya terdapat dua kelompok terpisaah pasien dengan
atresia bilier: bentuk embrionik awal dihubungkan dengan kemunculan berbagai
anomali lainnya dan bentuk janin kelak/perinatal yang biasanya terlihat
terisolasi. Etiologi masing-masingnya mungkin berbeda.
Temuan patologis pada
atresia bilier ditandai dengan sklerotik inflamasi yang kehilangan semua atau
sebagian percabangan bilier ekstrahepatik juga sistem bilier intrahepatik.
Tidak seperti atresia traktus gastrointestinal lainnya yang memiliki batasan
tempat obstruksi jelas dengan dilatasi proksimal, dalam varian atresia bilier
yang paling umum, duktus biliaris diwakili oleh jalinan fibrosa tanpa dilatasi
apapun di proksimalnya. Sedangkan varian lainnya memiliki sisa nyata – distal,
dari kandung empedu, duktus sistikus dan duktus komunis, atau proksimal, dengan
hilus kista.
Kandung empedu biasanya
kecil namun kemungkinan masih memiliki lumen berkerut yang berisi cairan jernih
(“empedu putih”). Secara mikroskopis, sisa bilier
diwakili oleh jaringan fibrosa padat, distal. Proksimal, duktus biliaris
dikelilingi oleh fibrosis konsentris dan infiltrat peradangan disekitar struktur
seperti-duktus yang kecil sekali, duktus koledokus dan kelenjar bilier. Oklusi sclerosing
duktus bilier menjadi lebih luas seiring dengan pertambahan usia. Kasai dan rekan-rekannya memperlihatkan bahwa duktus
intrahepatik berhubungan dengan hepatis porta melalui kanal yang kecil sekali,
setidaknya diawal masa bayi. Rekonstruksi bedah berdasarkan pada pedoman ini.
Dalam 2 bulan pertama setelah kelahiran, perubahan
histologis hati memperlihatkan pemeliharaan arsitektur hepatik dasar dengan
proliferasi duktulus empedu, sumbatan empedu dan fibrosis periportal ringan
pada bayi dengan atresia bilier. Nantinya, fibrosis membentang
kedalam lobulus hepatikus, akhirnya menghasilkan gambaran sirosis. Seperempat
bayi yang memiliki infiltrat inflamasi portal dan transformasi sel-raksasa yang
tak dapat dibedakan dari temuan patologis hepatitis neonatorum.
F.
DIAGNOSIS
Ikterus pada bayi yang menetap > 2 minggu
seharusnya tidak dianggap fisiologis, khususnya jika fraksi utama adalah
bilirubin terkonjugasi. Pentingnya diagnosis dini dalam mencapai keberhasilan
maksimal pada portoenterostomi Kasai telah
ditegaskan berulangkali. Karena banyak sekali penyebab kolestasis pada bayi,
sebuah evaluasi menyeluruh untuk menyingkirkan setiap kemungkinan dapat memakan
waktu berminggu-minggu dan tidak seharusnya dilakukan. Tujuannya adalah untuk
mengesampingkan obstruksi mekanis yang menyebabkan ikterus, dan kerja yang
cepat itu penting. Bayi dengan atresia bilier biasanya kelihatan normal pada
saat lahir, menjadi ikterus klinis pada usia 3-6 minggu. Warna feses mungkin
saja normal atau awalnya kuning, namun berubah menjadi kuning pucat atau warna
tanah liat seiring berjalannya waktu.
Tes biokimia pada atresia bilier memperlihatkan
hiperbilirubinemia, biasanya 6-12 mg/dL, dengan 50% terkonjugasi. Transaminase
dan alkali fosfatase meningkat 2-3 kali nilai normal. γ-glutamil transeptidase
biasanya tinggi dengan nyata sekali. Biasanya, fungsi sintetik hepar mendekati normal dengan level serum albumin
normal. Peningkatan ringan PT biasanya sebagai respon terhadap asupan vitamin K
parenteral. Tes serologis harus dilaksanakan untuk mengecualikan etiologi
infeksi (hepatitis A, B, C dan titer TORCH). Defisiensi α1-antitripsin dapat menyerupai atresia
bilier dan diasingkan dengan menentukan level AAT dan fenotip. Hitung darah
lengkap standar dengan pemeriksaan apusan perifer secara luas mengecualikan
penyebab hematologis pada kolestasis.
Ultrasonografi cepat, aman dan non-invasif bermakna
pada evaluasi bayi dengan ikterik. Pada atresia bilier, kandung empedu kecil atau tidak terlihat. Duktus
bilier tidak terlihat dan hepar mungkin mengalami peningkatan echogenicity.
Sebagai tambahan, munculnya anomali polisplenia (limpa multipel, vena porta
pre-duodenal, situs inversus, dan absensia vena cava infrahepatik) memberi
kesan diagnosis.
Pencitraan hepatobilier menggunakan technetium-99m
asam iminodiacetic (IDA) bermanfaat untuk memisahkan obstruktif dari
ikterus parenkimal. Pada
atresia bilier, khususnya yang dini, pengambilan nukleotida cepat, namun
ekskresi kedalam usus tidak ada, bahkan pada gambar yang tertunda. Pada ikterus
hepatoseluler, pengambilan isotop tertunda oleh penyakit parenkim dan ekskresi
kedalam usus mungkin tertunda atau tidak terlihat. Karenanya, visualisasi
isotop didalam usus mengecualikan atresia bilier, namun kegagalan menunjukkan
ekskresi usus adalah non-diagnostik. Fenobarbital, karena ia meningkatkan
konjugasi dan ekskresi bilirubin, dapat digunakan untuk meningkatkan
pembedaan dengan pencitraan IDA.
Kolangiografi adalah manuver diagnostik akhir,
biasanya dilakukan sebagai langkah pendahuluan, sebelum melanjutkan ke
portoenterostomi. Melalui
insisi kecil kuadran-atas-kanan, kandung empedu yang berkerut ditampakkan.
Biasanya kandung empedu tidak memiliki lumen sama sekali, atau hanya berupa
lumen mungil yang mengandung beberapa tetes cairan bening. Bila lumen ada,
kolangiogram diperoleh dengan injeksi bahan kontras.
Demonstrasi kontras dalam
duodenum dan kontinuitas dengan duktus bilier intrahepatik meniadakan atresia
bilier. Dalam persoalan ini, biopsi iris murah (dan jarum) pada hati harus
dilakukan sebelum menutup insisi. Jika kolangiografi tidak memungkinkan (lumen
kandung empedu tidak ada atau tersumbat), kemudian insisi diperbesar menjadi
laparotomi subkosta bilateral dalam persiapan untuk portoenterostomi Kasai.
G. PENGOBATAN
Satu-satunya terapi yang
memberikan harapan kesembuhan bagi atresia bilier adalah pembedahan. Secara
historis, berbagai operasi telah disusun, termasuk reseksi hepatik parsial
dengan drainase luka permukaan, penusukan hepar dengan tabung hampa, dan
pengalihan duktus limfatik torasikus kedalam rongga mulut. Prosedur
satu-satunya yang memberikan keberhasilan jangka-panjang adalah
portoenterostomi dan transplantasi hati.
1. Portoenterostomi hepatik : Prosedur portoenterostomi diawali dengan
mobilisasi kandung empedu dari hati dan diseksi duktus sistikus ke sisa serabut
duktus biliaris komunis. Peritoneum superfisial diatas ligamentum
hepatoduodenal dibuka untuk memperlihatkan arteri hepatika dan struktur
biliaris. Alat pembesar dan pencahayaan sempurna tidak memiliki arti. Duktus
komunis fibrosa secara hati-hati dipotong dan dibelah di distal pada batas atas
duodenum. Sisa duktal digunakan untuk traksi dan diseksi berlanjut ke
proksimal. Arteri sistikus diligasi. Duktus biliaris fibrosa meluas menjadi
massa berbentuk kerucut dan memasuki hepar diantara bifurkasi dan vena porta. Vena kecil bercabang harus dibagi dengan cermat. Kerucut fibrosa dipotong
sama persis dengan substansi hepar. Tidak ada kauter yang digunakan pada
pemotongan hilus. Pembalutan dengan kasa ketika Roux-en-Y tersumbat akan
memberikan hemostasis yang cukup. Meskipun berbagai rekonstruksi intestinal
telah dijelaskan, Roux-en-Y tradisional saat ini lebih disukai. Kebanyakan pilihan lainnya berasal dari usaha untuk mengurangi
frekuensi kolangitis. Umumnya, tak satupun dari eksteriorisasi atau teknik
katup yang secara bermakna mempengaruhi insiden kolangitis atau hasil akhir
jangka-panjang. Saat ini,
kita menciptakan Roux-en-Y 40-cm dengan transeksi yeyunum 10-cm distal terhadap
ligamen Trietz. Cabang Roux melewati retro-kolik dan prosedur dilengkapi dengan
anastomosis yang berakhir-pada-satu-lapisan ke hepatik porta yang ditranseksi
menggunakan jahitan berturut-turut yang dapat diserap. Harus berhati-hati untuk
tidak menempatkan jahitan melalui jaringan yang ditranseksi dimana terdapat
duktus bilier yang sangat kecil, khususnya di lateral dan posterior. Sebuah
saluran kecil ditempatkan di posterior dari hepatik porta pada ruang subhepatik
sebelum penutupan insisi.
2.
Portokolesistotomi: Pada kira-kira 20% pasien, kenyataan kandung
empedu, duktus sistikus, dan duktus biliaris komunis distal membolehkan
penggunaan untuk rekonstruksi. Pemotongan proksimal
berada pada tingkat identik. Kandung empedu harus dimobilisasi dengan hati-hati
untuk melindungi pasokan darah dari arteri sistikus. Kandung empedu dibuka
secara longitudinal dan secara langsung di-anastomosis-kan ke porta yang
ditranseksi. Duktus
sistikus hipoplastik dan duktus biliaris komunis mungkin tidak mampu menerima
volume penuh drainase bilier pada awalnya. Oleh karena itu, dekompresi
sementara dengan sebuah tabung silastic yang ditempatkan melalui
fundus kandung empedu membiarkan penyembuhan anastomotik dan dilatasi bertahap
duktus distal. Jika kandung empedu berhasil digunakan untuk drainase, resiko
kolangitis paska operasi hampir dihilangkan.
3.
Transplantasi Hati: Kemajuan dalam teknik dan imunosupresi pada tahun 1980 menambahkan
transplantasi hati ke pilihan yang tersedia untuk mengobati anak dengan atresia
bilier. Meskipun telah diusulkan bahwa transplantasi hati menggantikan
portoenterostomi sebagai terapi primer, beberapa argumen yang bertentangan
dapat dibuat. Persentase pasien yang signifikan mencapai kelangsungan hidup
jangka panjang dengan hanya portoenterostomi (50% kelangsungan hidup 5 tahun
dan 25% kelangsungan hidup ke masa remaja). Imunosupresi pada bayi mengekspos
anak pada resiko infeksi dan malignansi yang lebih besar. Biaya operasi,
pemeliharaan imunosupresi, pemantauan, dan tindakan lanjutan jauh lebih besar
pada penerima transplantasi. Lambat laun, beberapa telah menyatakan bahwa
operasi Kasai berpengaruh negatif pada hasil
dari prosedur transplantasi; namun studi banding tidak mampu memperlihatkan
efek. Karenanya, kita meyakini bahwa transplantasi tidak seharusnya
menggantikan operasi Kasai namun harus
berfungsi sebagai jaringan pengaman bagi kegagalan awal atau nantinya penurunan
fungsi sintetis atau komplikasi hipertensi portal.
DAFTAR
PUSTAKA
Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary
Atresia at Principles and Practice of Pediatric Surgery, 4th Edition.
Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku
Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Parlin Ringoringo. 1991. Atresia Bilier.
Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak,FK UI, RSCM. from: url:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf
/15AtresiaBilier086.html
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia
Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang berkepanjangan.
From : url :http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier
waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/
Mark Davenport. Biliary Atresia. London:
2010. Available from : url : http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html
ST.Louis Children's Hospital. Biliary
Atresia. Washington University School of Medicine.2010. Available
from : url : http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
North American Society For Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.Biliary Atresia. From : url: http:
//www.naspghan.org/ userassets/ Documents/pdf
/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf
Steven M. Biliary Atresia.
Emedicine. 2009. Available From: url: http:// emedicine. medscape.com/
article/927029-overview
Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis
Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR.Surabaya. 2006.
Available from : url :http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar